INFO KOSIM

Kamis, 04 Oktober 2012

TRADISI LAYAK DAN TIDAK LAYAK

Abah Sarjang
Membaca tulisan Harry Baskara yang dimuat di Radar 3 Oktober 2012 cukup menggelitik dan merangsang saya untuk ikut berkomentar.


Berbicara tentang tradisi menurut pemahaman kami, tentu tidak akan sama dengan apa yang dipahami oleh  Kang Harry. Tradisi menurut kami adalah adat istiadat yang berkembang di masyarakat, menjadi kebiasaan yang dilakukan secara kolektif dan turun temurun.  Jika pementasan yang dipertontonkan oleh siswa-siswi  pada Festival Teater Tradisional Tingkat Pelajar Se-Kabupaten Karawang yang baru lalu (27-29 September 2012) menampilkan sentuhan tradisi, namun sentuhan tradisi tersebut tidak sesuai dengan harapan kang Harry, jangan terlalu kecewa dan sakit hati. Sebagai orang tua kita harus “legowo” dan banyak introspeksi.  Jangan salahkan mereka yang tidak mampu memahami tradisi secara benar, tapi justru orang tua yang terlalu meng-eksklusifkan tradisi . Perlu diingat bahwa tradisi juga berinteraksi dengan kekinian, jika tradisi tidak mampu berinteraksi dengan kekinian , memaksakan diri untuk bertahan di ranahnya dan “keukeuh” dalam pakemnya maka bersiap-siaplah untuk menggali kuburan sendiri.

Kami  (KOSIM, PELANGI, BLANKAR, TEGAS, dan tetaer-teater  “kampungan”  lainnya yang berdiri di luar sekolah) terhitung sejak tahun 2000 hingga sekarang merayap membangun teater  dengan berjalan kaki, mencoba menawarkan teater ke sekolah-sekolah, melakukan pementasan di jalanan, di pinggir-pinggir gedung, bahkan di rumah-rumah kosong. Lalu sekarang setelah teater memasuki ruang-ruiang kelas menyebar ke seluruh sekolah-sekolah dipelosok Karawang, bermunculanlah para kritikus, komentator, kurator, dan para ahli “cawad”. Berbicara lantang tentang perteateran di Karawang. Ada yang bilang jago kandang-lah, ada yang bilang tidak sesuai dengan hukum-hukum teater-lah, dan berbagai komentar negatif lainnya.

Sekarang ketika perteateran di Karawang mulai bangkit dan diakui sebagai salahs satu masyarakat seni, seolah-olah menjadi bola emas yang diperebutkan. Sebetulnya kami memang bodoh, pengetahuan kami tentang dramaturgi sangat minim, apalagi tentang hukum-hukum perteateran  yang berlaku secara akademik, sama sekali kami buta. Tetapi kami inghin berkesenian, kami ingin berkarya, dan kami ingin berbuat sesuatu untuk Karawang.

Saya (penulis) sebagai salah satu dewan juri, kebetulan naskah saya menjadi pilihan peserta dan kang Harry menganggapnya sebagai naskah yang ngambang. Salah! Naskah tersebut sebetulnya bukan ngambang, tetapi sama sekali tidak layak ditampilkan. Kalau panitia memaksa menampilkan “Wasiat Sang Koruptor” dan para peserta banyak yang memilih naskah tersebut, berarti semua peserta yang memainkan naskah “Wasiat Sang Koruptor” sama sekali tidak layak ditampilkan, dan terbukti layak atau tidak layak bukan tujuan kami. Tujuan kami adalah berkarya. Itulah cara kami berkesenian, itulah cara kami berteater. Kalau suka silakan tonton, kalau tidak silakan pulang. Kami akan tetap berkarya dan berkesenian. Dulu kami marjinal, terkucil dan tersisih kalau sekarang dimarjinalkan lagi, itu hal yang biasa dan kami akan terus berkarya.

Untuk TESNIKA yang menjadi juara umum dalam festival, tentu bukan saya yang menentukan. Saya hadir hanya sebagai juri pelengkap saja, ada banyak juri-juri lain yang kredibilitas dan kejeliannya tidak diragukan lagi. Mereka mampu menilai mana yang layak mana yang tidak. Jadi kalau sekolah Kang Harry tidak masuk nominasi, bukan kesalahan naskah yang “ngambang”, tetapi Dewan Juri yang sepakat untuk menganggapnya tidak layak.

Penulis adalah pekerja seni.




Abah Sarjang

Posting Komentar