Abah Sarjang |
Berbicara tentang tradisi menurut
pemahaman kami, tentu tidak akan sama dengan apa yang dipahami oleh Kang Harry. Tradisi menurut kami adalah adat
istiadat yang berkembang di masyarakat, menjadi kebiasaan yang dilakukan secara
kolektif dan turun temurun. Jika pementasan
yang dipertontonkan oleh siswa-siswi pada Festival Teater Tradisional Tingkat
Pelajar Se-Kabupaten Karawang yang baru lalu (27-29 September 2012) menampilkan
sentuhan tradisi, namun sentuhan tradisi tersebut tidak sesuai dengan harapan
kang Harry, jangan terlalu kecewa dan sakit hati. Sebagai orang tua kita harus “legowo”
dan banyak introspeksi. Jangan salahkan
mereka yang tidak mampu memahami tradisi secara benar, tapi justru orang tua
yang terlalu meng-eksklusifkan tradisi . Perlu diingat bahwa tradisi juga
berinteraksi dengan kekinian, jika tradisi tidak mampu berinteraksi dengan
kekinian , memaksakan diri untuk bertahan di ranahnya dan “keukeuh” dalam pakemnya
maka bersiap-siaplah untuk menggali kuburan sendiri.
Kami (KOSIM, PELANGI, BLANKAR, TEGAS, dan
tetaer-teater “kampungan” lainnya yang berdiri di luar sekolah) terhitung
sejak tahun 2000 hingga sekarang merayap membangun teater dengan berjalan kaki, mencoba menawarkan teater
ke sekolah-sekolah, melakukan pementasan di jalanan, di pinggir-pinggir gedung,
bahkan di rumah-rumah kosong. Lalu sekarang setelah teater memasuki
ruang-ruiang kelas menyebar ke seluruh sekolah-sekolah dipelosok Karawang,
bermunculanlah para kritikus, komentator, kurator, dan para ahli “cawad”.
Berbicara lantang tentang perteateran di Karawang. Ada yang bilang jago
kandang-lah, ada yang bilang tidak sesuai dengan hukum-hukum teater-lah, dan
berbagai komentar negatif lainnya.
Sekarang ketika perteateran di Karawang
mulai bangkit dan diakui sebagai salahs satu masyarakat seni, seolah-olah
menjadi bola emas yang diperebutkan. Sebetulnya kami memang bodoh, pengetahuan
kami tentang dramaturgi sangat minim, apalagi tentang hukum-hukum perteateran yang berlaku secara akademik, sama sekali kami
buta. Tetapi kami inghin berkesenian, kami ingin berkarya, dan kami ingin
berbuat sesuatu untuk Karawang.
Saya (penulis) sebagai salah satu
dewan juri, kebetulan naskah saya menjadi pilihan peserta dan kang Harry menganggapnya
sebagai naskah yang ngambang. Salah! Naskah tersebut sebetulnya bukan ngambang,
tetapi sama sekali tidak layak ditampilkan. Kalau panitia memaksa menampilkan “Wasiat
Sang Koruptor” dan para peserta banyak yang memilih naskah tersebut, berarti
semua peserta yang memainkan naskah “Wasiat Sang Koruptor” sama sekali tidak layak
ditampilkan, dan terbukti layak atau tidak layak bukan tujuan kami. Tujuan kami
adalah berkarya. Itulah cara kami berkesenian, itulah cara kami berteater. Kalau
suka silakan tonton, kalau tidak silakan pulang. Kami akan tetap berkarya dan
berkesenian. Dulu kami marjinal, terkucil dan tersisih kalau sekarang
dimarjinalkan lagi, itu hal yang biasa dan kami akan terus berkarya.
Untuk TESNIKA yang menjadi juara
umum dalam festival, tentu bukan saya yang menentukan. Saya hadir hanya sebagai
juri pelengkap saja, ada banyak juri-juri lain yang kredibilitas dan
kejeliannya tidak diragukan lagi. Mereka mampu menilai mana yang layak mana
yang tidak. Jadi kalau sekolah Kang Harry tidak masuk nominasi, bukan kesalahan
naskah yang “ngambang”, tetapi Dewan Juri yang sepakat untuk menganggapnya
tidak layak.
Penulis adalah pekerja seni.
Abah Sarjang
Posting Komentar