UKUR SAKALI
Naskah drama satu babak yang awalnya berjudul “Hanya Satu Kali” karya John Galsworthy & Robert Midlemans dan diterjemahkan kedalam Bahasa Sunda oleh Sunta Atmaja ini menceritakan seorang tahanan kasus pembunuhan, akibat dari perbuatannya itu ialah hukuman mati di tiang gantungan, namun yang menjadi masalah ialah karena jati diri tentang tahanan ini tak seorangpun yang mengetahui, banyak orang yang bertanya-tanya apakah dia anggota keluarga mereka yang telah lama hilang, dan begitu banyak pula surat dari orang-orang yang menanyakan siapa jati diri tahanan itu sebenarnya. Bahkan salah satu stasiun berita menjanjikan hadiah uang bila tahanan itu mau buka bicara tentang siapa dia sebenarnya.
Tahanan itu hanya mengaku bahwa namanya adalah Sudarso, seorang tahanan, seorang pembunuh. Tak banyak yang bisa diperoleh dari mulutnya sebab hingga mendekati waktu eksekusi gantungan, Sudarso tetap berlaku tenang, dengan kesopanannya, serta hormatnya kepada para petinggi penjara. Beberapa saat sebelum waktu eksekusi, Sudarso sempat menerima tamu seorang perempuan muda yang mengaku sedang mencari kakaknya yang telah lama hilang, tepatnya sejak dia berumur delapan tahun. Upaya yang dilakukan perempuan muda itu untuk mengenali kakaknya yakni dengan membacakan sajak-sajak seperti biasanya dulu dia dan kakaknya bacakan. Namun tak sekalipun Sudarso membalas sajak yang diutarakan perempuan itu.
Di sinilah ketegangannya dimana Sudarso harus berada dalam dua pilihan yakni apakah ia harus mengakui bahwa dirinya memang benar adalah kakak yang selama ini dicari-cari ataukah ia harus tetap dengan pendiriannya sebagai Sudarso yang akan mati sebagai bukanlah siapa-siapa, sedangkan di tempat lain keluarganya akan dihantui rasa penasaran akan keberadaannya.
Akhirnya Sudarso hanya mengakui bahwa dirinya mengenali orang yang dicari-cari oleh perempuan itu, dan karena ia merasa terharu atas sakit ibunya maka ia minta perempuan muda itu untuk menyampaikan pada ibunya bahwa putranya yang selama ini dia cari-cari telah meninggal sebagai pahlawan. Begitulah akhirnya Sudarso menghadapi hukuman matinya sebagai Sudarso si pembunuh, bukan sebagai Raden Murtono Ronosisworo.
Dalam hal ini eksistensialisme menjadi salah satu alasan kemantapan Sudarso dalam menentukan pilihan hidupnya. Bahwa keberadaannya menjadi sangat penting dan mampu mempengaruhi jalan hidup orang lain di sekitarnya. Kemantapan itulah yang membawa Sudarso menemui sebuah sikap kepahlawanan yang akan mati hanya satu kali.
Nantikan pertunjukannya ditahun 2013 bersama Teater Pelangi Karawang!!
Posting Komentar