CERPEN
SELAMAT MAKAN!
Uun Unasih
Uun Unasih
“Wah, tumben nih makan siangnya pake rendang?!” seru Heri, pemuda 25 tahun yang punya tahi lalat di hidung, di atas alis kiri, dekat bibir dan leher. Ia nampak kegirangan melihat bongkahan daging berwarna coklat gelap yang terbaring di atas ratusan biji lembek.
“Soalnya tadi Kidung dikasih uang lebih sama Pak Nanang,” jawab Kidung, mandor lemah lembut yang pipinya tembem.
“Empuk banget dagingnya,” celetuk Husen.
“Bumbunya juga meresap sempurna,” kuli lain menimpali.
“Nasinya juga enak!”
“Pasti mahal, nih, harganya…”
“Ya, iyalah… Kidung belinya di restoran Padang Uda Baharudin!” balas Kidung.
“Percakapan kagak bermutu!” gerutu Yayan dalam hati sembari memandangi rendang. Merinding melihatnya. Tangan yang menangkup makanan terlezat sedunia itu gemetaran. Lambungnya terasa seperti sedang dipecut. Yayan tersiksa sekarang. Lihat, buliran keringat muncul dari pori-pori wajahnya. Ia menyorot semua kawannya yang tengah asyik menyantap makan siang di teras belakang rumah mewah itu. Mereka nampak serupa dengan serigala ceking yang beberapa hari tidak makan. Mereka mencabik-cabik rendang dengan kuku dan gigi. Yayan menepuk-nepuk dada supaya muntahnya tidak keluar.
“Dasar aneh lu, Yan! Pantesan elu nggak pinter-pinter! Kagak suka daging sih lu!!”
“Daging tikus baru die mau!”
“Tetangga bilang elu sombong soalnye nggak mau ngantri daging qurban! Mereka juga bilang Enyak terlalu manjain elu!”
Kumpulan tawa bernada sumbang, cercaan, dan ucapan ibunya beberapa belas tahun lalu menggaung di telinga. Menyusup ke dalam otak. Setiap kali ia mengutarakan, “Gue nggak suka daging,” selalu hadir bebunyian itu. Kali ini, ia tidak mau rekan-rekannya sesama kuli bangunan menertawai atau menyindirnya.
Yayan sudah lupa alasan kenapa tidak menyukai daging. Tapi, setiap kali mencium aroma daging sapi atau kambing––meski sudah matang dan berbumbu––ia selalu ingin muntah. Detik ini, pemuda berusia 23 tahun itu hanya bisa beristighfar. Sesekali menyesap air putih sedikit-sedikit. Sebuah rencana menakjubkan didapatnya ketika melihat Kidung pergi. Ia merapikan nasi bungkus rendangnya untuk dibawa keluar.
Bak buronan, Yayan mengendap-endap keluar dari rumah yang akan dihuni pasangan selebriti Nanang dan Asyinta. Berhasil keluar, ia memandang sebentar ke arah rumah setengah jadi itu, lalu bergerak menjauhinya. Meter ke-7, ia berhenti. Ia tengok Tonino Lamborghini kepunyaan orang yang kebetulan lewat di depan mata. Ia punya waktu kurang dari 30 menit. Ia mengadu pada ilalang tentang peraturan aneh yang diberlakukan Kidung: waktu istirahat hanya 38 menit 52 detik. Tanggung sangat.
Pemuda yang tidak lulus SD karena sibuk main layangan itu menggerakkan kaki dengan kecepatan maksimum. Sekumpulan bunga matahari yang merekah, maupun Neng Utu yang terkenal sebagai pembantu tercantik dan ter-aduhai di komplek perumahan Kayu Manis, tidak menghentikan laju larinya. Bahkan ia menambah kecepatan lari ketika anjing kintamani mengejarnya. “Apa salah dan dosaku, ya Allah?” keluhnya.
Beberapa jam yang lalu, ia teramat bekerja keras. Mengangkat belasan sak semen, mendorong kereta sorong berisi kerikil dan batu bata secara berulang, naik-turun tangga, dan kegiatan menguras tenaga lainnya. Apalagi, pagi tadi ia hanya menyantap dua pisang goreng dan teh manis buatan enyak tercinta.
Sampai di perbatasan perumahan Kayu Manis dengan kampung Greges, ia bertemu Om Jubir, pemulung yang ulung dalam memulung. Om Jubir membuka kacamata hitamnya, lantas bertanya, “Ade ape?”
“I-ini, Om… hhhh… hhhh…” Yayan berusaha menjawab di tengah susahnya mengatur nafas. Tangan kirinya menyodorkan nasi bungkus isi rendang ke hadapan Om Jubir.
“Buat Om Jubir?”
Yayan menggeleng, “Gu-gue… mau jual nasi bungkus ini. Isinya nasi dan rendang daging sapi kualitas terbaik. Dari Restoran Padang Uda Baharudin, Om.”
“Kenape mau dijual?”
“Butuh uang, Om. Cepet, Om. Gue kagak punya banyak waktu.”
Yayan menengok Alexandre Christie yang melingkar di lengan seorang lelaki nyentrik yang kebetulan membuang kaleng ke gerobak Om Jubir. Waktunya tersisa 24 menit.
Om Jubir mengenakan kacamata hitamnya lagi. Setelah itu mengeluarkan dompet kulit buaya imitasi yang sudah jamuran dari dalam saku celananya. Yayan harap-harap cemas. “Berape?” tanya pria beranak lima tersebut. Posisi tangannya bersiap mengangkat lembaran uang seribuan yang nangkring di dalam dompet.
“Tujuh rebu, Om!”
“Satu, dua, tiga, empat, lima…” Om Jubir menghitung uang, lantas menariknya ke atas, “nih, lima rebu aja! Gue keberatan kalo tujuh rebu mah.”
“Tambahin serebu lagi, dah.”
“Boleh. Asal, lu jualin rongsokan gue dulu. Jiahahahaha…”
“Ya, udeh, ah, sini! Capek ngomong sama situ mah!” Yayan mengambil uang dari tangan Om Jubir, dan menyerahkan nasi rendang ke lelaki berusia 50 tahunan itu.
“Gitu aja marah. Hahahaaa...”
Yayan tak membalas karena terlalu kesal. Ia berlari menerobos angin. Waktu terus berjalan. Perut juga terus berkelik. Ia jadi ingat nasib warga dari negara miskin seperti Ethiopia. Seperti inikah yang mereka rasakan? Kelaparan selama berjam-jam. Mereka menunggu kematian datang menjemput. Mungkin juga mereka memilih mati daripada hidup dengan lambung yang terus dicambuk lapar. Yang paling pedih dan membuat Yayan menitikkan air mata adalah banyaknya anak kecil yang kelaparan di negara itu. Mungkin mereka bertanya: Apakah aku dilahirkan untuk kelaparan?
“Gue nggak mau mati dulu. Gue harus makan. Gue harus kerja buat benerin rumah yang bentar lagi roboh!” tekad Yayan sembari menghapus air mata.
Sampailah pemuda yang memakai kaos ‘Cinta Iwan Fals’ itu di warteg Mama Mimi. Sayangnya, karena pelanggan yang datang melimpah, jadi ia harus mengantri bersama calon pembeli lain. Maklum, jam makan siang.
“Sial! Kagak ada yang pake jam tangan! Harusnya tadi gue bawa hape si Husen!” rutuk Yayan ketika hasrat ingin menengok jam muncul. Orang-orang yang mengantri jenisnya sama seperti Yayan. Pekerja kasar. Kasar pula gerakannya ketika antrian maju satu langkah.
Cuaca yang begitu membara, tubuhnya yang sudah lowbat, dan bau badan lelaki di dekatnya yang begitu menyiksa hidung, membuat Yayan memutuskan sesuatu. Ia akan mengakhri penantian sepiring nasi di warteg Mama Mimi. Soalnya kalau diteruskan, ia takut pingsan di sana. Ia harus mencari tempat penyedia makanan yang tidak seramai warteg Mama Mimi. Mungkin penjual ketoprak, warung kopi yang menjual mie rebus, atau pedagang gorengan. Tapi, nasib berkata lain! Asa tinggallah asa. Sudah ke sana kemari, ia tak mendapati satu pun penjual makanan. Sialnya lagi, ketika bertemu jam dinding di konter pengisian pulsa, waktu yang tersisa tidak lebih dari lima belas menit. Kedua kakinya terpaksa berlari kembali.
“Oy, Abang yang nggak doyan daging!” seru seseorang ketika Yayan sedang berlari. Ia kenal betul pemilik suara itu. Begitu menoleh, Om Jubir bersama gerobak bututnya tengah berjalan ke arah Yayan. DEGGG!!! Yayan terbelalak, “Dari mane tu laki kusut tahu gue kagak doyan daging??!!”
“Ada apa?” tanya Yayan ketika Om Jubir berada dekat dengannya. “Gue buru-buru nih mau ke tempat kerja!”
“Emang elu udeh makan siang? Ngantri di warteg Mama Mimi butuh waktu lebih dari sepuluh menit. Nah, elu…?”
“Iye, gue kagak makan di sono. Gue kehilangan banyak waktu. Kalo gue telat nyampe rumah Nanang Asyinta, gue bisa diomelin mandor, terus honor gue dipotong 30 persen.”
“Ngomong lu panjang lebar kayak pidatonye Lurah Samid!”
Om Jubir melepas kacamata hitamnya, menyantolkan benda itu ke leher kaos. Tangan berototnya bergerak mengambil kantong plastik yang dikaitkan ke pegangan gerobak. “Gue mau jual nasi bungkus ini. Isinya oreg tempe sama acar timun. Gue butuh uang buat beli pulsa!” jelas Om Jubir sembari membuka bungkusan nasi. Ia menggoda Yayan dengan menghadapkan nasi bungkus ke wajah pemuda itu. Yayan menelan ludah.
“Om dapet dari mana?”
“Istrinya Lurah Samid yang ngasih, pas gue lewat di depan rumah dia. Kalo gue nolak, dia pasti ngamuk. Padahal, gue udah makan rendang. Tadinya mau dijual ke tukang becak di depan gang sono, cuma pas gue liat elu, ya gue tawarin dulu ke elu. Gimane? Mau kagak?”
“Boleh, deh. Berapa?”
“Tujuh rebu!”
“Sialan ni kakek!” Yayan mendengus. Ia mengeluarkan sejumlah uang sesuai jumlah yang diminta dari dalam saku celana, kemudian meletakkannya di bibir gerobak. Setelah itu, ia merebut nasi bungkus dari tangan Om Jubir.
Om Jubir mengambil uang itu sambil cengengesan. “Terima kasih, Sayangku,” ucapnya. “Ini, minumnya. Gratis!” lelaki tua itu memberi air mineral pada Yayan dengan hati tulus dan wajah bersinar. Ia merasa seperti sedang berperan menjadi malaikat penolong.
Yayan menghela nafas pendek. Ia melihat langit sebentar untuk menerima semua kenyataan pahit ini. Lima detik kemudian, ia tengok wajah Om Jubir. Bibirnya melengkung ke atas disertai gerakan tangan mengambil botol air mineral. Ia berterima kasih meski pria tua itu sudah mempermainkannya. Diturunkannya badan hingga pantat menyentuh trotoar. Setelah mencuci tangan, ia melahap nasi bungkus yang baru dibelinya. Om Jubir dan gerobak bututnya bersedia menemani Yayan makan siang.
***
“Soalnya tadi Kidung dikasih uang lebih sama Pak Nanang,” jawab Kidung, mandor lemah lembut yang pipinya tembem.
“Empuk banget dagingnya,” celetuk Husen.
“Bumbunya juga meresap sempurna,” kuli lain menimpali.
“Nasinya juga enak!”
“Pasti mahal, nih, harganya…”
“Ya, iyalah… Kidung belinya di restoran Padang Uda Baharudin!” balas Kidung.
“Percakapan kagak bermutu!” gerutu Yayan dalam hati sembari memandangi rendang. Merinding melihatnya. Tangan yang menangkup makanan terlezat sedunia itu gemetaran. Lambungnya terasa seperti sedang dipecut. Yayan tersiksa sekarang. Lihat, buliran keringat muncul dari pori-pori wajahnya. Ia menyorot semua kawannya yang tengah asyik menyantap makan siang di teras belakang rumah mewah itu. Mereka nampak serupa dengan serigala ceking yang beberapa hari tidak makan. Mereka mencabik-cabik rendang dengan kuku dan gigi. Yayan menepuk-nepuk dada supaya muntahnya tidak keluar.
“Dasar aneh lu, Yan! Pantesan elu nggak pinter-pinter! Kagak suka daging sih lu!!”
“Daging tikus baru die mau!”
“Tetangga bilang elu sombong soalnye nggak mau ngantri daging qurban! Mereka juga bilang Enyak terlalu manjain elu!”
Kumpulan tawa bernada sumbang, cercaan, dan ucapan ibunya beberapa belas tahun lalu menggaung di telinga. Menyusup ke dalam otak. Setiap kali ia mengutarakan, “Gue nggak suka daging,” selalu hadir bebunyian itu. Kali ini, ia tidak mau rekan-rekannya sesama kuli bangunan menertawai atau menyindirnya.
Yayan sudah lupa alasan kenapa tidak menyukai daging. Tapi, setiap kali mencium aroma daging sapi atau kambing––meski sudah matang dan berbumbu––ia selalu ingin muntah. Detik ini, pemuda berusia 23 tahun itu hanya bisa beristighfar. Sesekali menyesap air putih sedikit-sedikit. Sebuah rencana menakjubkan didapatnya ketika melihat Kidung pergi. Ia merapikan nasi bungkus rendangnya untuk dibawa keluar.
Bak buronan, Yayan mengendap-endap keluar dari rumah yang akan dihuni pasangan selebriti Nanang dan Asyinta. Berhasil keluar, ia memandang sebentar ke arah rumah setengah jadi itu, lalu bergerak menjauhinya. Meter ke-7, ia berhenti. Ia tengok Tonino Lamborghini kepunyaan orang yang kebetulan lewat di depan mata. Ia punya waktu kurang dari 30 menit. Ia mengadu pada ilalang tentang peraturan aneh yang diberlakukan Kidung: waktu istirahat hanya 38 menit 52 detik. Tanggung sangat.
Pemuda yang tidak lulus SD karena sibuk main layangan itu menggerakkan kaki dengan kecepatan maksimum. Sekumpulan bunga matahari yang merekah, maupun Neng Utu yang terkenal sebagai pembantu tercantik dan ter-aduhai di komplek perumahan Kayu Manis, tidak menghentikan laju larinya. Bahkan ia menambah kecepatan lari ketika anjing kintamani mengejarnya. “Apa salah dan dosaku, ya Allah?” keluhnya.
Beberapa jam yang lalu, ia teramat bekerja keras. Mengangkat belasan sak semen, mendorong kereta sorong berisi kerikil dan batu bata secara berulang, naik-turun tangga, dan kegiatan menguras tenaga lainnya. Apalagi, pagi tadi ia hanya menyantap dua pisang goreng dan teh manis buatan enyak tercinta.
Sampai di perbatasan perumahan Kayu Manis dengan kampung Greges, ia bertemu Om Jubir, pemulung yang ulung dalam memulung. Om Jubir membuka kacamata hitamnya, lantas bertanya, “Ade ape?”
“I-ini, Om… hhhh… hhhh…” Yayan berusaha menjawab di tengah susahnya mengatur nafas. Tangan kirinya menyodorkan nasi bungkus isi rendang ke hadapan Om Jubir.
“Buat Om Jubir?”
Yayan menggeleng, “Gu-gue… mau jual nasi bungkus ini. Isinya nasi dan rendang daging sapi kualitas terbaik. Dari Restoran Padang Uda Baharudin, Om.”
“Kenape mau dijual?”
“Butuh uang, Om. Cepet, Om. Gue kagak punya banyak waktu.”
Yayan menengok Alexandre Christie yang melingkar di lengan seorang lelaki nyentrik yang kebetulan membuang kaleng ke gerobak Om Jubir. Waktunya tersisa 24 menit.
Om Jubir mengenakan kacamata hitamnya lagi. Setelah itu mengeluarkan dompet kulit buaya imitasi yang sudah jamuran dari dalam saku celananya. Yayan harap-harap cemas. “Berape?” tanya pria beranak lima tersebut. Posisi tangannya bersiap mengangkat lembaran uang seribuan yang nangkring di dalam dompet.
“Tujuh rebu, Om!”
“Satu, dua, tiga, empat, lima…” Om Jubir menghitung uang, lantas menariknya ke atas, “nih, lima rebu aja! Gue keberatan kalo tujuh rebu mah.”
“Tambahin serebu lagi, dah.”
“Boleh. Asal, lu jualin rongsokan gue dulu. Jiahahahaha…”
“Ya, udeh, ah, sini! Capek ngomong sama situ mah!” Yayan mengambil uang dari tangan Om Jubir, dan menyerahkan nasi rendang ke lelaki berusia 50 tahunan itu.
“Gitu aja marah. Hahahaaa...”
Yayan tak membalas karena terlalu kesal. Ia berlari menerobos angin. Waktu terus berjalan. Perut juga terus berkelik. Ia jadi ingat nasib warga dari negara miskin seperti Ethiopia. Seperti inikah yang mereka rasakan? Kelaparan selama berjam-jam. Mereka menunggu kematian datang menjemput. Mungkin juga mereka memilih mati daripada hidup dengan lambung yang terus dicambuk lapar. Yang paling pedih dan membuat Yayan menitikkan air mata adalah banyaknya anak kecil yang kelaparan di negara itu. Mungkin mereka bertanya: Apakah aku dilahirkan untuk kelaparan?
“Gue nggak mau mati dulu. Gue harus makan. Gue harus kerja buat benerin rumah yang bentar lagi roboh!” tekad Yayan sembari menghapus air mata.
Sampailah pemuda yang memakai kaos ‘Cinta Iwan Fals’ itu di warteg Mama Mimi. Sayangnya, karena pelanggan yang datang melimpah, jadi ia harus mengantri bersama calon pembeli lain. Maklum, jam makan siang.
“Sial! Kagak ada yang pake jam tangan! Harusnya tadi gue bawa hape si Husen!” rutuk Yayan ketika hasrat ingin menengok jam muncul. Orang-orang yang mengantri jenisnya sama seperti Yayan. Pekerja kasar. Kasar pula gerakannya ketika antrian maju satu langkah.
Cuaca yang begitu membara, tubuhnya yang sudah lowbat, dan bau badan lelaki di dekatnya yang begitu menyiksa hidung, membuat Yayan memutuskan sesuatu. Ia akan mengakhri penantian sepiring nasi di warteg Mama Mimi. Soalnya kalau diteruskan, ia takut pingsan di sana. Ia harus mencari tempat penyedia makanan yang tidak seramai warteg Mama Mimi. Mungkin penjual ketoprak, warung kopi yang menjual mie rebus, atau pedagang gorengan. Tapi, nasib berkata lain! Asa tinggallah asa. Sudah ke sana kemari, ia tak mendapati satu pun penjual makanan. Sialnya lagi, ketika bertemu jam dinding di konter pengisian pulsa, waktu yang tersisa tidak lebih dari lima belas menit. Kedua kakinya terpaksa berlari kembali.
“Oy, Abang yang nggak doyan daging!” seru seseorang ketika Yayan sedang berlari. Ia kenal betul pemilik suara itu. Begitu menoleh, Om Jubir bersama gerobak bututnya tengah berjalan ke arah Yayan. DEGGG!!! Yayan terbelalak, “Dari mane tu laki kusut tahu gue kagak doyan daging??!!”
“Ada apa?” tanya Yayan ketika Om Jubir berada dekat dengannya. “Gue buru-buru nih mau ke tempat kerja!”
“Emang elu udeh makan siang? Ngantri di warteg Mama Mimi butuh waktu lebih dari sepuluh menit. Nah, elu…?”
“Iye, gue kagak makan di sono. Gue kehilangan banyak waktu. Kalo gue telat nyampe rumah Nanang Asyinta, gue bisa diomelin mandor, terus honor gue dipotong 30 persen.”
“Ngomong lu panjang lebar kayak pidatonye Lurah Samid!”
Om Jubir melepas kacamata hitamnya, menyantolkan benda itu ke leher kaos. Tangan berototnya bergerak mengambil kantong plastik yang dikaitkan ke pegangan gerobak. “Gue mau jual nasi bungkus ini. Isinya oreg tempe sama acar timun. Gue butuh uang buat beli pulsa!” jelas Om Jubir sembari membuka bungkusan nasi. Ia menggoda Yayan dengan menghadapkan nasi bungkus ke wajah pemuda itu. Yayan menelan ludah.
“Om dapet dari mana?”
“Istrinya Lurah Samid yang ngasih, pas gue lewat di depan rumah dia. Kalo gue nolak, dia pasti ngamuk. Padahal, gue udah makan rendang. Tadinya mau dijual ke tukang becak di depan gang sono, cuma pas gue liat elu, ya gue tawarin dulu ke elu. Gimane? Mau kagak?”
“Boleh, deh. Berapa?”
“Tujuh rebu!”
“Sialan ni kakek!” Yayan mendengus. Ia mengeluarkan sejumlah uang sesuai jumlah yang diminta dari dalam saku celana, kemudian meletakkannya di bibir gerobak. Setelah itu, ia merebut nasi bungkus dari tangan Om Jubir.
Om Jubir mengambil uang itu sambil cengengesan. “Terima kasih, Sayangku,” ucapnya. “Ini, minumnya. Gratis!” lelaki tua itu memberi air mineral pada Yayan dengan hati tulus dan wajah bersinar. Ia merasa seperti sedang berperan menjadi malaikat penolong.
Yayan menghela nafas pendek. Ia melihat langit sebentar untuk menerima semua kenyataan pahit ini. Lima detik kemudian, ia tengok wajah Om Jubir. Bibirnya melengkung ke atas disertai gerakan tangan mengambil botol air mineral. Ia berterima kasih meski pria tua itu sudah mempermainkannya. Diturunkannya badan hingga pantat menyentuh trotoar. Setelah mencuci tangan, ia melahap nasi bungkus yang baru dibelinya. Om Jubir dan gerobak bututnya bersedia menemani Yayan makan siang.
***
Posting Komentar